Thursday, February 18, 2010

MENGINJIL BAYI DALAM KANDUNGAN?

Ada pemimpin gereja yang mungkin karena kebingungan tentang topik keselamatan, mengajarkan kepada anggota jemaatnya konsep keselamatan yang kedengarannya agak aneh, yaitu penginjilan terhadap bayi, bukan hanya kepada yang telah lahir, bahkan kepada yang masih di dalam kandungan. Memang agak aneh, tetapi ini bukan cerita bohong, betul-betul ada gereja yang mengajarkan bahwa mereka perlu menginjil bayi yang masih di dalam kandungan. Mendengar itu, seorang teman berguyon, bahwa yang sanggup melakukan tugas itu hanya dokter kandungan.

AKIBAT DOKTRIN KESELAMATAN YANG SALAH

Calvinis, karena percaya bahwa nasib orang telah dipredestinasikan dalam satu dekrit Allah sejak kekekalan, percaya bahwa tiap-tiap orang yang akan dijumpai mereka di Sorga kelak adalah yang dipilih Allah tanpa kondisi (Unconditional Election).

Dengan konsep demikian, maka dapat disimpulkan bahwa keselamatan bayi juga masuk dalam lingkup unconditional election sebagaimana orang dewasa. Sebagaimana orang dewasa masuk Sorga karena dipilih secara tanpa kondisi, maka tentu pemilihan itu termasuk bayi.

Jika Calvinis berterus terang, maka mereka tidak tahu, serta tidak ada cara untuk mengetahui apakah seseorang termasuk dalam pilihan atau tidak. Dengan kata lain, sesungguhnya bagi Calvinis mereka tidak tahu siapa masuk Sorga atau tidak, bahkan mereka tidak memiliki cara bagi seseorang untuk memastikan dirinya masuk Sorga, karena tidak ada orang yang tahu apakah dirinya termasuk dalam pilihan atau tidak. Jika terhadap orang dewasa saja Calvinis tidak akan tahu dan tidak ada kepastian siapa masuk Sorga siapa masuk Neraka, apalagi bayi mereka.

TULIP. Dimana T = Total Depravity dalam bahasa Indonesia bisa diterjemahkan“hancur total” dan U= Unconditonal election dalam bahasa Indonesia bisa diterjemahkan “pemilihan tanpa kondisi. L = Limited Atonement dalam bahasa Indonesia bisa disebut “penebusan terbatas.” Dan I = Irresistable Grace dalam bahasa Indonesia bisa diterjemahkan “anugerah yang tidak bisa ditolak” serta yang terakhir P = Perseverance of the saints atau dalam bahasa Indonesianya adalah “ketekunan orang-orang kudus”. Calvinis sendiri sudah semakin meninggalkan lima poin mereka karena bukan hanya tidak alkitabiah, yaitu tidak didukung ayat-ayat Alkitab, bahkan tidak masuk akal. Akhirnya para Calvinis menyebut diri mereka three-point Calvinis, two-point Calvinis, bahkan one-point Calvinis. Hampir tidak ditemukan Calvinis yang benar-benar percaya pada keseluruhan dari lima poin Calvinis. Mereka makin langka karena terlalu sulit untuk mempertahankan bahwa Tuhan Yesus mati di kayu salib hanya menebus sebagian orang, yaitu yang dipilih Allah dalam kekekalan sementara Alkitab dengan begitu jelas menyatakan bahwa Allah mengasihi semua manusia, dan Kristus mati bagi semua manusia (Yoh.3:16, I Yoh.2:2, Ibr.2:9).

Atau sebagian mereka mengambil poin-poin Calvinis dan mencampurkannya dengan konsep mereka sehingga lebih tidak harmonis lagi jika dinalarkan.

Konsep Calvinis tersebut di atas secara langsung maupun tidak langsung menempatkan Allah sebagai penjahat karena memilih orang masuk Sorga dan membiarkan orang masuk Neraka tanpa kondisi. Seandainya ada sebuah kapal yang berpenumpang seribu orang sedang dalam proses tenggelam, dan berdekatan dengan kapal tersebut ada sebuah kapal kosong yang mampu menampung dua ribu orang, namun kapten kapal bertindak ugal-ugalan, ia hanya memilih secara tanpa kondisi (Unconditional Election) seratus orang saja untuk diselamatkan, dan membiarkan sembilan ratus orang lain mati tenggelam, maka setelah peristiwa tersebut semua orang akan menuntut kapten kapal tersebut diadili dan dijebloskan ke dalam penjara. Dia bisa lolos dari penjara jika dibuktikan bahwa ia sakit jiwa. Menurut anda masuk akalkah Allah yang berfirman, “Jadi jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa (Yak.4:17),” ternyata ia sendiri membiarkan sebagian orang masuk Neraka tanpa kondisi dan menyelamatkan sebagian orang TANPA KONDISI?

KEBINGUNGAN TENTANG NASIB BAYI

Sebagian pemimpin gereja yang terpengaruh oleh konsep Calvinis menjadi bingung tentang nasib bayi yang mati, mengajarkan bahwa bayi orang Kristen akan masuk Sorga, sedangkan bayi non-Kristen akan masuk Neraka, tanpa menyertakan ayat Alkitab maupun akal sehat.

Bayangkan kalau seorang bayi yang ayahnya Kristen sedangkan ibunya non­Kristen, atau sebaliknya ibunya Kristen dan ayahnya non-Kristen, apakah ia masuk Sorga? Lalu bagaimana kalau ada sepasang suami­istri yang ketika belum menjadi Kristen kematian bayi, dan dua tahun kemudian menjadi Kristen juga kematian bayinya yang kedua, apakah bayi yang pertama masuk Neraka dan bayi kedua masuk Sorga? Tidak masuk akal dan tidak ada dasar ayat Alkitab.

Sebenarnya jika seseorang konsisten dengan konsep Calvinis tentu ia harus percaya bahwa bayi pun dipilih secara unconditional untuk masuk Sorga sehingga ada bayi yang betul-betul “sial” karena tidak terpilih sehingga ia masuk Neraka. Ada bayi yang terpilih secara unconditional dan ada bayi yang masuk Neraka karena tidak terpilih secara unconditional. Tidak heran kalau Laurence M. Vance dalam bukunya The Other Side of Calvinism menyatakan bahwa Calvinisme adalah sebuah wabah bagi kekristenan.

KOMBINASI YANG SALAH

Ada lagi gereja yang terpengaruh sedikit konsep Calvinis, sehingga percaya bahwa sekali diselamatkan maka apapun yang terjadi pasti akan selamat (once saved always saved), namun mereka tidak percaya pada pemilihan, melainkan pada keselamatan oleh iman. Ini adalah konsep campuran antara Calvinisme dengan akal sehat yang sebenarnya tidak selaras.

Kalau seseorang diselamatkan oleh iman, bukan oleh pemilihan, maka keselamatannya bukan unconditional melainkan conditional. Kalau iman merupakan kondisi keselamatan jiwanya, berarti tidak mungkin once saved always saved, karena sepenuhnya tergantung pada imannya. Kalau imannya tetap tidak berubah maka ia akan selamat. Tetapi kalau imannya berubah, tentu ia tidak selamat (Ibr.3:14).

Mereka sering bertanya kepada orang, apakah keselamatan seseorang bisa hilang? Atau, apakah keselamatan bisa hilang? Jelas ini adalah pertanyaan yang salah. Jawabannya tentu keselamatan tidak bisa hilang karena keselamatan itu bukan barang, melainkan sebuah keadaan yang dijanjikan. Pertanyaan yang lebih cerdas dan logis ialah, apakah iman seseorang bisa berubah? Apakah seseorang yang imannya berubah masih tetap akan selamat? Ini adalah pertanyaan yang lebih masuk akal dan perlu dijawab.

Tentu jangan kita yang menjawab dengan akal budi kemanusiaan kita, melainkan membiarkan Alkitab sendiri yang memberi jawabannya. Cobalah tenangkan pikiran anda dan baca hati-hati ayat-ayat Alkitab yang terkutip di bawah ini. Apakah iman seseorang bisa berubah, atau apakah dibutuhkan kesetiaan sampai akhir untuk mendapatkan janji keselamatan?

Oleh Injil itu kamu diselamatkan, asal kamu teguh berpegang padanya, seperti yang telah kuberitakan kepadamu kecuali kalau kamu telah sia-sia saja menjadi percaya (I Kor.15:2).

Tetapi Kristus setia sebagai Anak yang mengepalai rumah-Nya; dan rumah-Nya ialah kita, jika kita sampai kepada akhirnya teguh berpegang pada kepercayaan dan pengharapan yang kita megahkan (Ibr.3:6).

Karena kita telah beroleh bagian di dalam Kristus, asal saja kita teguh berpegang sampai kepada akhirnya pada keyakinan iman kita yang semula (Ibr.3:14).

Jangan takut terhadap apa yang harus engkau derita! Sesungguhnya Iblis akan melemparkan beberapa orang dari antaramu ke dalam penjara supaya kamu dicobai dan kamu akan beroleh kesusahan selama sepuluh hari. Hendaklah engkau setia sampai mati, dan Aku akan mengaruniakan kepadamu mahkota kehidupan (Wah.2:10).

Tentu masih ada sangat banyak ayat seperti yang terkutip. Sebenarnya dengan ayat yang jelas, cukup satu saja sudah valid untuk menyimpulkan bahwa diperlukan kesetiaan, atau iman yang tidak berubah sampai mati untuk memperoleh janji keselamatan yang diperoleh dengan iman.

Biasanya mereka langsung menuduh sekalipun. secara kelabakan, bahwa kalau begitu anda diselamatkan oleh perbuatan! Kalau begitu, Rasul Paulus telah mengajarkan keselamatan oleh perbuatan ketika ia berkata bahwa kita diselamatkan oleh iman. Padahal dalam Efesus 2:8-9 telah ia kontraskan antara iman dengan perbuatan, bahwa iman itu bukan perbuatan, iman itu sikap hati, dan setia itu bukan perbuatan melainkan sikap hati yang tidak berubah. Kalau kita simpulkan bahwa untuk memperoleh keselamatan yang dijanjikan kepada orang-orang yang beriman diperlukan kesetiaan sampai mati, apakah itu berarti mengandalkan perbuatan?

Jika keselamatan itu diperoleh karena pemilihan yang unconditional itu memang tidak diperlukan iman, apalagi kesetiaan. Bahkan tanpa keinginan yang bersangkutan, melainkan tak sengaja dipilih secara unconditional. Jadi bagaimana ia bisa berubah setia, dan bagaimana ia bisa kehilangan iman? Ia memang tidak punya iman, ia dipilih, bukan ia mau bertobat dan percaya. Calvinis berkata iman dan lain sebagainya diberikan oleh Allah setelah orang tersebut dipilih. Jadi, kalau imannya berubah, atau ia berubah setia itu bukan salahnya, melainkan salah Allah yang memberi iman dan yang tidak menjaga imannya. Ia tidak bertanggung jawab untuk menjaga imannya, dan juga tidak bertanggung jawab untuk setia. Bagi Calvinis semuanya adalah tanggung jawab Allah. Jadi kalau ia kehilangan iman, ia berubah setia, atau memakai istilah mereka, kalau ia kehilangan keselamatan jiwanya, kesalahan ada pada Allah yang gagal menjaga imannya. Aneh! Akhirnya Allah akan menjadi tertuduh atas segala kegagalannya.

LEBIH ANEH LAGI, MENGINJILI BAYI

Percaya bahwa kita diselamatkan oleh iman, itu sudah benar. Tetapi jika percaya bahwa bayi dalam kandungan pun harus beriman untuk masuk Sorga, maka sudah jelas bahwa yang bersangkutan tidak mengerti hubungan penyaliban Kristus dengan keturunan Adam yang berdosa.

Yesus Kristus disalibkan untuk menanggung dosa seisi dunia (Yoh.1:29), untuk dosa semua manusia (Ibr.2:9, I Yoh.2:2). Artinya dosa dari Adam hingga dosa manusia terakhir ditanggungkan kepada diri Tuhan Yesus untuk dihukumkan di atas kayu salib. Jadi semua dosa yang disebabkan oleh kejatuhan Adam telah terselesaikan pada penyaliban Yesus Kristus. Tidak ada orang yang masuk Neraka karena Adam dan Hawa lagi. Semua orang masuk Neraka karena perbuatan dosa dirinya sendiri.

Itulah sebabnya bayi yang belum bisa berbuat dosa atas kesadaran dirinya, dan mereka yang tidak pernah mendapatkan kesadaran diri misalnya lahir cacat mental, kalau mati mereka pasti masuk Sorga, biar anak siapa pun, bahkan anak seorang teroris Sekali lagi, tidak ada orang yang masuk ke Neraka karena perbuatan orang lain, ayah-ibunya atau Adam dan Hawa.

Sesudah seorang bayi bertumbuh mencapai umur akil balik, atau bertanggung jawab, atau memiliki kesadaran diri, dan melakukan dosa, maka ia menjadi orang berdosa bukan karena Adam dan Hawa, bukan karena ayah-ibunya, melainkan ia menjadi orang berdosa oleh dirinya sendiri. Kapankah seseorang menjadi akil balik? Tidak ada umur atau waktu yang persis karena tiap-tiap orang berbeda. Ada pengaruh kecerdasan tiap-tiap orang. Pada zaman ibadah simbolik PL secara simbolik Allah menetapkan umur 12 tahun, karena sesudah seorang anak laki-laki berusia di atas 12 tahun baru wajib pergi ke Bait Allah.

Orang yang telah akil balik, telah sadar diri, melakukan dosa, harus mendengarkan Injil. Ia harus bertobat dan percaya kepada Yesus Kristus bahwa Yesus Kristus telah dihukumkan atas semua dosanya. Ia harus mendengarkan Injil yang murni, bukan Injil yang ditambahi dan yang dikurangi.

Mungkinkah bayi di bawah lima tahun (balita), mendengarkan Injil dan mengerti Injil? Tidak mungkin! Apalagi bayi dalam kandungan. Pengajar sesat model ini memakai peristiwa Elizabeth yang mengandung janin Yohanes Pembaptis yang melonjak ketika menerima salam dari Maria sebagai pembenaran bahwa janin dalam kandungan bisa mendengarkan Injil. Padahal untuk memiliki iman yang menyelamatkan tentu tidak cukup dengan melonjak, melainkan harus mengerti bahwa dirinya orang berdosa yang akan dihukumkan dan Kristus menggantikan dirinya dihukumkan di kayu salib. Sekali lagi tidak cukup dengan hanya melonjak.

Kekristenan seringkali menjadi bahan tertawaan para ilmuwan adalah karena terlalu banyak pemimpin gereja yang mengajarkan hal yang aneh-aneh. Jangankan janin dalam kandungan, bahkan balita menurut ilmu psikologi, belum bisa mengerti kebenaran abstrak. Ia belum bisa membayangkan dosa yang akan dihukum dan memahami Yesus yang menggantikannya dihukumkan di kayu salib. Ia belum bisa membayangkan angka lebih dari sepuluh (jumlah jarinya).

Mustahil balita bisa mengerti Injil, apalagi janin dalam kandungan. Pemimpin gereja yang mengajarkan bahwa janin perlu diinjili telah berusaha menyesatkan pengikutnya yang tidak berpikir. Karena tidak jelas tentang Doktrin Keselamatan yang alkitabiah, namun tidak bisa menghindari topik ini, akhirnya mengajar dengan kemampuan berpikirnya yang mungkin kebetulan saat itu nalarnya kurang bekerja. Dengan tegas saya ingin katakan bahwa tindakan menginjili janin dalam kandungan adalah tidak alkitabiah, atau sesat! ***(LHF).

Sumber: PEDANG ROH Edisi 52 Juli-Agustus-September 2007

No comments: